skip to main | skip to sidebar

Wednesday, November 30, 2011

Mitigasi Bencana Kebakaran Hutan

0 comments
Kampanye dan sosialisasi kebijakan pengendalian kebakaran lahan dan hutan.

Peningkatan masyarakat peduli api.


Peningkatan penegakan hukum.


Pembentukan pasukan pemadaman kebakaran khususnya untuk penanganan kebakaran secara dini.


Pembuatan waduk di daerahnya untuk pemadaman api


Pembuatan skat bakar, terutama antara lahan, perkebunan, pertanian dengan hutan.


Hindarkan pembukaan lahan dengan cara pembakaran.


Hindarkan penanaman tanaman sejenis untuk daerah yang luas.


Melakukan pengawasan pembakaran lahan dengan cara pembakaran lahan untuk pembukaan lahan secara ketat.


Melakukan penanaman kembali daerah yang telah terbakar dengan tanaman yang heterogen.


Partisipasi aktif dalam pemadaman awal kebakaran di daerahnya.


Pengembangan teknologi pembukaan lahan tanpa membakar (pembuatan kompos, briket arang dll).


Kesatuan persepsi dalam pengendalian kebakaran hutan dan lahan.


Penyediaan dana tanggap darurat untuk penanggulangan kebakaran lahan dan hutan.


Pengelolaan bahan bakar secara intensif untuk menghindari kebakaran yang lebih luas.
















Mitigasi Bencana Longsor

0 comments








 
Mitigasi bencana longsor pada prinsipnya bertujuan untuk meminimumkan dampak bencana tersebut. Untuk itu kegiatan early warning (peringatan dini) bencana menjadi sangat penting. Peringatan dini dapat dilakukan antara lain melalui prediksi cuaca/iklim sebagai salah satu faktor yang menentukan bencana longsor.

Pemanfaatan data satelit khususnya untuk aplikasi data satelit untuk bencana geologi dihadapkan pada masalah pemilihan jenis data dan metode pengolahannya. Kebutuhan data dengan resolusi tinggi (spasial, spektral, temporal) perlu dikombinasikan menjadi suatu aplikasi komplementer, sehingga keunggulan masing-masing data dapat dimanfaatkan.


Khusus dalam aplikasi data ASTER (Advanced Spaceborne Thermal Emission and Reflection Radiometer), hingga saat ini telah banyak dilakukan riset untuk menyusun model pengolahan data bagi aplikasi bencana geologi. Namun, untuk penerapannya di Indonesia perlu dilakukan riset dengan cara mengkaji karakteristik band yang berhubungan dengan bencana geologi sehinga dapat disusun model pengolahan datanya untuk tujuan operasional.


Sementara itu data ALOS (Advanced Land Observing Satellite) adalah jenis data satelit yang masih relatif baru, meskipun sudah diluncurkan sejak Januari 2006, namun pemanfaatan datanya belum banyak dikaji secara intensif. 






Sumber 

Mitigasi Bencana Gunung Berapi

0 comments

Kegiatan vulkanik Gunung Merapi sudah diamati sejak tahun 1953. Selain di kantor Balai Penyelidikan dan Pengamatan Teknologi Kegunungapin (BPPTK) Yogyakarta sebagai Main Office, ada 5 (lima) Pos Pengamatan Gunungapi (Pos PGA) yang mengelilingi G. Merapi yang dikhususkan mengamati gerak gerik G. Merapi dari waktu ke waktu secara visual serta dilengkapi beberapa peralatan standard antara lain seperangkat seismograf sebagai pelengkap atau peralatan khusus yang mengharuskan dilakukan pengukuran secara langsung terhadap gunungapi, misalnya Deformasi dan COSPEC. Peralatan lainnya diinstal di Kantor BPPTK, Yogyakarta.

Peralatan-peralatan yang dipergunakan untuk memantau kegiatan vulkanik Gunung Merapi adalah seismograf, deformasi, COSPEC, magnetometer, infrasonic.

Seismograf direkam dengan sistem analog dan numerik sebanyak 6 stasiun. Deformasi terdiri dari tiltmeter, EDM, dan GPS. Khusus tiltmeter terukur secara menerus dari puncak dengan radio telemetry. EDM dan GPS diukur secara temporer. Pengukuran COSPEC dilakukan secara manual setiap hari dari Pos Pengamatan Jrakah, sedangkan magnetometer dan infrasonic masih dalam ujicoba dan ditempatkan di Pos Pengamatan Babadan.



Mitigasi Bencana

Bahaya letusan gunungapi terdiri atas bahaya primer dan bahaya sekunder.Bahaya Primer adalah bahaya yang langsung menimpa penduduk ketika letusan berlangsung. Misalnya, awanpanas, udara panas (surger) sebagai akibat samping awanpanas, dan lontaran material berukuran blok (bom) hingga kerikil. Sedangkan bahaya sekunder terjadi secara tidak langsung dan umumnya berlangsung pada purna letusan, misalnya lahar, kerusakan lahan pertanian/perkebunan atau rumah.

Tingkat bahaya dari suatu gunungapi sangat tergantung dari kerapatan dari suatu letusan dan kepadatan penduduk yang bermukim di sekitar gunungapi tersebut.

Yang terakhir sangat terkait dengan aktifitas penduduk tersebut berinteraksi dengan lingkungnannya, yaitu gunungapi. Untuk menekan jatuhnya korban jiwa manusia, Direktorat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi menerbitkan Peta Daerah Bahaya. Untuk kawasan G. Merapi. Peta Daerah Bahaya tersebut dibagi atas tiga daerah, masing-masing Daerah Terlarang, adalah daerah yang sangat berpotensi terkena letusan langsung (bahaya primer), Daerah Bahaya Satu, bila letusan besar dapat terlanda lontaran material pijar berukuran bom atau kerikil, dan yang terakhir adalah Daerah Bahaya Dua adalah daerah yang sangat berpotensi terlanda lahar.

 







Mitigasi Bencana Tsunami

0 comments
 Bencana selalu datang tanpa disadari, namun dapat berdampak luas terhadap semua aspek yang ada di sekitarnya. Indonesia, sebagai negara maritim, sangat merasakan dampak yang ditimbulkan bencana, terutama gempa bumi yang disebabkan berbenturannya dua lempeng di dasar laut. Pengelolaan kawasan pesisir yang belum sempurna mengakibatkan dampak yang ditimbulkan setiap bencana cukup luas.  Kejadian gempa berkekuatan 8,9 SR yang dikuti gelombang tsunami pada 26 Desember tahun 2004 di Nangroe Aceh Darusalam merupakan kejadian bencana yang tidak bisa dilupakan bangsa ini. Dalam sekejap, ribuan jiwa melayang dan Aceh menjadi bak rata dengan tanah. Tidak ada satu orang pun yang menyangka kejadian maha dahsyat itu terjadi, semua tersadar ketika bencana telah melumat dan meluluhlantakkan semua yang diterjangnya.
Gempa yang terus terjadi dengan episentrum berpusat di wilayah laut, membuat sadar bahwa negara harus mulai memikirkan cara dan upaya meminimalkan dampak bencana terhadap eksosistem daerah yang dilanda, tak terkecuali wilayah pesisir. Namun perlu disadari, tsunami hanya satu dari sekian banyak bencana yang dapat berdampak cukup luas. Beberapa bencana lainnya seperti abrasi, erosi dan sedimentasi juga menjadi ancaman dan perlu penanganan serius. Berbagai bencana yang timbul akibat pemanfaatan ruang yang salah di wilayah pesisir perlu mulai diperhatikan.
Banyak yang bisa diangkat sebagai satu contoh kongkrit kerusakan wilayah pesisir yang bisa mengakibatkan dampak luas ketika bencana datang. Sebut saja peralihan fungsi lahan bakau menjadi lahan tambak maupun penggalian pasir laut secara brutal yang mengakibatkan meluasnya cakupan ombak laut ke bibir pantai. Semuanya akan berujung pada kerusakan wilayah pesisir. Jika tidak ditangani lebih serius, bukan tidak mungkin ekosistem yang berada di wilayah pesisir beranjak menuju kepunahan dalam kurun waktu mendatang. Beberapa tahun terakhir, fenomena alam berupa air pasang yang menghantam pemukiman penduduk pesisir dan terjadinya air rob yang menggenangi kawasan lain sering terjadi. Jika mau disadari, kejadian-kejadian tersebut merupakan dampak tindakan yang salah dalam memperlakukan wilayah pesisir. Bencana itu menjadi rutinitas tahunan sejalan dengan perubahan iklim yang cukup signifikan. Setidaknya, rentetan kejadian tadi memberikan garis merah untuk ditanggulangi. Salah satu cara meminimalkan dampak kerusakan akibat bencana tersebut dengan menyiapkan mitigasi bencana di wilayah pesisir.
Mitigasi adalah sebuah upaya melakukan perencanaan yang tepat guna meminimumkan dampak bencana. Mitigasi bukanlah sebuah strategi akhir, namun diperlukan agar resiko-resiko yang ada dapat diminimalisir. Untuk itu diperlukan berbagai bentuk pendekatan dalam menetapkan strategi mitigasi yang diperlukan. Menurut Ongkosongo, 2004, daerah pantai, pesisir dan pulau-pulau kecil merupakan bagian yang paling dinamik, karena selalu berhubungan dengan kondisi lingkungan yang juga dinamik. Dinamika tersebut dapat terjadi karena gerakanan masa air serta akibat bencana alam yang sering terjadi di wilayah lepas pantai seperti gempa, banjir pasang, angin besar dan wabah penyakit. Kondisi seperti itu menuntut adanya upaya deteksi, mitigasi sampai pencegahan dan pananganan bencana sebaik mungkin.  Tahapan upaya untuk melakukan deteksi, mitigasi dan pencegahan degradasi akibat bencana dapat dilakukan dengan mempertimbangkan akar masalah penyebab degradasi, komponen utama yang menjadi pokok pendeteksi, satuan upaya deteksi dan tindakan umum deteksi bencana.
Sementara menurut Clark (1996), prinsip mitigasi bencana di suatu wilayah mencakup empat poin penting masing-masing, peningkatan antisipasi kerusakan yang merupakan bentuk mitigasi yang menunjukkan ‘peningkatan penanganan’ kerusakan sederhana dari sebuah ekosistem. Dalam hal ini, bisa dicontohkan seperti pemugaran sirkulasi air yang kemudian di perbaiki. Faktor ini harus mempertimbangkan keberadaan ekosisitem sehingga pelaksanaan kegiatan tidak berkibat pada kelangsungan hidup ekosistem yang berada di cakupan daerah tersebut. Kedua, meminimalkan (reduksi) dampak. Faktor ini merupakan sebuah model dari mitigasi untuk mengurangi dampak kegiatan atau pemanfaatan ruang dan sumberdaya alam pesisir. Beberapa tahun ini, telah banyak dilakukan penambangan pasir besi di wilayah pesisir pantai selatan Jawa yang dilakukan secara tradisional, sehingga berakibat pada kerusakan alam. Tindakan ini seharusnya lebih memikirkan dampak yang akan ditimbulkan secara luas terutama pada proses pemijahan benih ikan di wilayah pesisir dan kerusakan permanen pada sumber daya yang ada.
Bila faktor yang kedua ini terabaikan oleh semua pihak, maka bencana yang ditimbulkan akan sangat luas, tidak hanya abrasi bibir pantai tapi juga bencana seperti kekeringan dan hilangnya ekosistem sebegai salah satu penunjang utama ekonomi masyarakat pesisir. Disini lah pentingnya mitigasi secara utuh, sehingga dampak bencana benar-benar diminimalkan dan mengarah pada penanganan perbaikan yang lebih baik untuk kepentingan semua pihak. Faktor ketiga yang perlu diperhatikan dalam mitigasi di wilayah pesisir adalah kompensasi. Faktor ini berimplikasi pada upaya perlindungan agar tidak ada sumberdaya yang hilang. Seperti perlindungan waduk dan keberadaan hutan bakau di wilayah pesisir dengan fungsi untuk memecah ombak sehingga tidak berdampak luas pada bibir pantai. Faktor keempat adalah replacement sebagai sebuah bentuk melindungi sumberdaya dengan memanfaatkan ruang yang ada kemudian melakukan relokasi keruangan lainnya. Faktor ini sangat penting untuk tetap menjaga kelestarian wilayah pesisir dari dampak bencana baik yang itimbulkan alam maupun karena kerusakan alam akibat tindakan yang tidak bertanggungjawab dalam mengeploitasi sumberdaya laut.
Upaya Mitigasi Kerusakan
Upaya mitigasi kerusakan di wilayah pesisir dapat dilaksanakan dengan berbagai bentuk dan tindakan yang mengarah pada pencegahan dan upaya meminimalkan dampak yang terjadi akibat bencana. Adapun upaya itu dapat dilakukan dengan beberapa cara antara lain upaya yang berbentuk struktur. Upaya ini berbentuk sebuah pembangunan infrastruktur di wilayah pesisir yang mencakup pada pembangunan jalan, sarana prasarana budidaya atau kegiatan ekonomi masyarakat yang lebih terkontrol atau terpadu dan bersifar antisifatif terhadap kemungkinan bencana yang terjadi. Sebut saja upaya mitigasi bencana tsunami yang mempunyai karakter cukup dahsyat terhadap kerusakan yang ditimbulkan. Upaya mitigasi bencana tsunmai, setidaknya bisa digolongkan dalam dua bentuk atau jenis antara lain pelestarian alam seperti penanaman kembali hutan bakau yang telah rusak akibat tindakan tertentu. Tidak kalah penting, perlindungan terhadap terumbu karang yang merupakan satu ekosistem bermanfaat paling besar di wilayah pesisir. Bentuk lainnya adalah, tindakan yang dilakukan secara sadar atau buatan seperti pembangunan pemecah gelombang sejajar pantai untuk menahan besaran gelombang yang ada dan memperkuat desain bangunan pemukiman atau lainnya yang lebih tahan terhadap gempa yang mengakibatkan timbulnya tsunami. Pada saat ini, rumah tahan gempa sudah bisa dilihat di Aceh dimana daerah ini pernah merasakan kedahsyatan tsumani pada desember tahun 2004 lalu.
Upaya lainnya merupakan upaya non struktur. Upaya mitigasi bencana nonstruktural dalam menangani bencana tsunami adalah upaya nonteknis yang menyangkut penyesuaian dan pengaturan tentang kegiatan manusia agar sejalan dan sesuai dengan upaya mitigasi struktural maupun upaya lainnya seperti kebijakan tentang tata guna lahan  kawasan pantai yang rawan bencana, kebijaksanaan tentang standarisasi bangunan (pemukiman maupun bangunan lainnya) serta infrastruktur sarana dan prasarana, kebijakan tentang eksplorasi dan kegiatan perekonomian masyarakat kawasan pantai dan terkahir pelatihan dan simulasi mitigasi bencana tsunami, misalnya, penyuluhan dan sosialisasi upaya mitigasi bencana, pengembangan sistem peringatan dini adanya bahaya bencana.  Menurut Pratikto (2004), jika sistem peringatan dini (early warning system) yang berupa informasi tsunami dan gempa bumi pada sistem pengamatan terdiri dari beberapa proses sebelum statusnya menjadi peringatan, yaitu deteksi, perhitungan hypocenter, perkiraan tsunami, dan perkiraan resiko berjalan dengan baik, dampak korban jiwa dapat diminimalisir sekecil mungkin.